Selasa, 18 Juni 2019

Analisis Kadar Abu pada ikan Mas (Cyprinus scarpio)


Laporan Praktikum Biokimia
ANALISIS KADAR ABU PADA IKAN MAS
(Cyprinus scarpio)
Oleh :
Maher Untung Siahaan
180302062
III/B







































                       
LABORATORIUM BIOKIMIA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019



   
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmatNya kepada penulis sehingga makalah ini dapat  selesai dengan baik. Laporan ini merupakan tugas Kualitas Air yang harus dipenuhi. Laporan  ini berjudul “Analisis Kadar Abu pada Ikan Mas (Cyprinus carpio)”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen Kualitas Air yaitu
Ibu Astrid Fauzia Dewinta, S.Pi., M.Si , Ibu Dr. Eri Yusni, M.Sc dan Bapak
Risky Febriansyah Siregar, S.Pi., M.Sc. Penulis mengucapkan terima kasih kepada asisten laboratorium dan semua rekan-rekan yang ikut serta dalam membimbing menyelesaikan makalah ini.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi isi maupun segi penulisan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan makalah ini sehingga memberikan manfaat terhadap semua pihak.



Medan,    Maret 2019
                                                                                                           
                       
                         Penulis




PENDAHULUAN
Latar Belakang
Biokimia mempelajari bagaimana jutaan biomolekul yang menyusun makhuk hidup saling berinteraksi melangsungkan proses kehidupan yang memampukan makhluk hidup mengubah energi, melakukan kerja, mengkatalisis transformasi kimiawi, menyusun molekul yang lebih kompleks dan supramolekul dari molekul sederhana, dan menyimpan serta menurunkan sifat-sifat genetik kepada generasi selanjutnya. Biokimia pangan merupakan bagian dari biokimia yang lebih difokuskan pada pemabaman reaksi biokimia pada bahan pangan (pertanian), regulasi dan mekanisme biosintesis serta degradasi komponen pangan, termasuk reaksi biokimia yang terjadi pada bahan pangan yang dikonsumsi (manusia), kelainan atau abnormalitas yang terkait dan karenanya dapat diaplikasikan dalam menangani masalah yang berkaitan dengan pangan dan gizi. Objek biokimia pangan lebih ditujukan pada bahan pertanian yang bermanfaat sebagai bahan pangan. Oleh karena merupakan bahan hidup (bahan biologi) prinsip biokimia berlaku disini, sehingga buku buku referensi yang digtinakan sebagai acuan, tetaplah buku-buku biokimia, ditambah buku yang bersifat lebih spesifik, seperti biokimia pertanian, biokimia nutrisi, fisiologi pasca panen, fisiologi tumbuhan dsb (Suharono, 2010).
                        Ikan merupakan salah satu sumber nutrisi bagi manusia. Ikan memiliki kandungan protein yang tinggi dan berbagai macam vitamin dan mineral antara lain, vitamin A, vitamin D, fosfor, magnesium, selenium, dan iodin. Di negara berkembang, ikan merupakan salah satu sumber protein dan asam lemak esensial. Kandungan asam amino pada ikan memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan protein nabati meskipun jumlahnya lebih sedikit. Asam lemak esensial yang terkandung dalam ikan sangat baik untuk perkembangan otak janin dan anak-anak (Candra, 2016).
                        Ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan jenis ikan konsumsi atau bisa sebagai ikan hias air tawar. Pertumbuhan ikan mas meliputi pertumbuhan ukuran baik berat, panjang maupun volume dalam laju perubahan waktu. Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, diantaranya kualitas dan kuantitas dari pakan yang diberikan. Pakan yang diberikan hendaknya mengandung bahan seperti protein,karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral ().   
Ilmu gizi disebut juga sebagai ilmu pangan, zat-zat gizi dan senyawa lain yang terkandung dalam bahan pangan. Reaksi, interaksi serta keseimbangannya yang dihubungkan dengan kesehatan dan penyakit. Selain itu meliputi juga proses-proses pencernaan pangan, serta penyerapan, pengangkutan, pemanfaatan dan ekskresi zat-zat oleh organisme. Zat Gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan serta mengatur proses-proses kehidupan. Istilah gizi atau ilmu gizi dikenal di Indonesia pada tahun 1950-an, sebagai terjemahan dari kata Inggris ;”nutrition”. Kata gizi sendiri berasal dari kata “ghidza” yang dalam bahasa Arab berarti makanan (Miharti, 2017).
Dalam menyajikan data komposisi zat makanan dari analisis proximat dapat dilakukan dalam komposisi persen berdasarkan segar (dikembalikan dengan menghitung berat awal segar), kering matahari (untuk ransum dan butiran/bijian serta limbah industrinya), dan berdasarkan bahan kering. Data berdasarkan bahan kering ini digunakan untuk membandingkan kualitas antarbahan makanan ternak. Manfaat lain dari komposisi data proximat adalah menduga koefesien cerna (berdasarkan rumus Schneider) dan menghitung TDN berdasarkan NRC (Ridia, 2014).
Analisis Proksimat dilakukan untuk mengetahui komponen utama dari suatu bahan. Untuk makanan, komponen utama umumnya terdiri dari kadar air, kadar abu, karbohidrat, serat kasar, protein serta lemak. Analisis ini menjadi perlu untuk dilakukan karena menyediakan data kandungan utama dari suatu bahan makanan. Faktor lain adalah karena analisis proksimat dalam makanan berkenaan dengan kadar gizi dari bahan makanan tersebut. Selain itu, analisis proksimat umumnya tidak mahal dan relative mudah untuk dilakukan (Suriani, 2010).
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur – unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu.  Kadar abu tersebut dapat menunjukkan total mineral dalam suatu bahan pangan. Baha- bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organic dan garam anorganik. Yang termasuk dalam garam organik misalya garam-garam asam mallat, oksalat, asetat, pektat. Sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat, karbonat, khlorida, sulfat, dan nitrat. Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. kadar abu yang terukur merupakan bahan-bahann anorganik yang tidak terbakar dalam proses pengabuan, sedangkan bahanbahan organic terbakar (Maulana, 2010).
Tujuan Penulisan
                        Tujuan dari makalah kadar abu ikan mas (cyprinus carpio) ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian kadar abu pada ikan mas (cyprinus carpio)
2.      Untuk mengetahui cara analisis kadar abu ikan mas (cyprinus carpio)
Manfaat Penulisan
                        Manfaat dari makalah kadar abu ikan mas (cyprinus carpio) adalah agar penulis dan pembaca dapat memahami tentang abu yaitu berupa kandungan-kaandungan dalam abu, tentang metode analisa kadar abu dan sebagai syarat masuk untuk Praktikum Biokimia selanjutnya.




TINJAUAN PUSTAKA
Kadar Abu
Abu merupakan residu anorganik yang didapat dengan pengabuan atau memanaskan pada suhu tinggi > 450○C dan atau pendestruksian komponen-komponen organik dengan asam kuat. Residu anorganik ini terdiri bermacam-macam mineral yang komposisi dan jumlahnya tergantung pada jenis lahan dan metode analisis yang digunakan. Abu dalam bahan pangan ditetapkan dengan menimbang sisa mineral sisa mineral sebagai hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550°C (Yenrina, 2015).
Abu adalah nama yang diberikan pada semua residu non-cair yang tersisa setelah sampel dibakar, dan sebagian besar terdiri dari oksida logam atau zat anorganik sisa hasil pembakaran (pengabuan)  suatu bahan organik.  Pengabuan tersebut merupakan proses mineralisasi untuk zat prekonsentrasi demi kepentingan analisis kimia. Pengabuan merupakan tahapan persiapan contoh yang harus dilakukan dalam anailisis elemenelemen mineral (individu). Secara umum abu terdiri dari  garam material anorganik  (misal garam yang mengandung ion Na+, K+, dan lain-lain). Terkadang juga mengandung mineral tertentu misal klorofil dan hemoglobin.   Contoh abu: Oksida:  Al2O3, CaO, Fe2O3, MgO, MnO, P2O5, K2O, SiO2. Karbonat: Na2CO3 (abu soda), K2CO3 (potash). Bikarbonat: NaHCO3 (baking soda). Kandungan abu dan komposisinya tergantung dari jenis bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu memiliki hubungan dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Contoh mineral yang termasuk dalam garam organik misalnya garam-garam asam mallat, oksalat, asetat. Sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat dan nitrat. Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral berbentuk sebagai senyawa komplek yang bersifat organis, yaito khlorofil dan hemoglobin (Direktorat Jendral Sekolah Menengah Kejuruan, 2013).
Unsur mineral dikenal sebagai zat organik  atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan oragnik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu. Abu merupakan residu anorganik dari hasil pembakaran atau hasil oksidasi komponen organic bahan pangan. Kadar abu ada hubungannya dengan kandungan mineral suatu bahan. Penentuan kadar abu cara kering mempunyai prinsip yaitu, mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yakni sekitar 500-600o C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam makanan/pangan. Selain itu, Kadar abu dari suatu bahan biasanya menunjukkan kadar mineral, kemurnian, serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Mengatakan bahwa kandungan mineral pada buah-buahan dan sayuran berbedabeda, hal ini tergantung pada beberapa faktor antara lain : genetik, agricultural practices, variasi pada kandungan mineral dalam tanah, penggemukan tanah dan pH, serta faktor lingkungan dan kematangan lahan.Kandungan abu dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan (Maulana, 2010).
Analisis Kadar Abu pada Ikan Mas (Cyprinus carpio)
            Untuk menentukan kandungan mineral bahan makanan, bahan tersebut harus dihancurkan / didestruksi terlebih dulu. Cara yang biasa dilakukan yaitu pengabuan kering (dry ashing) dan pengabuan basah (wet digestion).  Pemilihan cara tersebut tergantung pada sifat zat organik dalam bahan, mineral yang akan dianalisa serta sensitivitas cara yang digunakan. Pengabuan kering dapat diterapkan pada hampir semua analisa mineral kecuali merkuri dan arsen. Cara ini membutuhkan sedikit ketelitian dan mampu menganalisa bahan lebih banyak daripada pengabuan basah. Pengabuan kering dapat dilakukan untuk menganalisa kandungan Ca, P, dan Fe, akan tetapi kehilangan  K  dapat terjadi apabila suhu yang digunakan terlalu tinggi.  Oleh karena itu untuk menganalisa  K harus dihindari pemakaian suhu lebih tinggi dari 480○C.  Suhu 450○C tidak dapat digunakan jika akan menganalisa kandungan Zn, penggunaan suhu yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan beberapa mineral menjadi tidak larut  (misal timah putih).Pengabuan basah memberikan beberapa keuntungan. Suhu yang digunakan tidak dapat melebihi titik didih larutan dan pada umumnya karbon lebih cepat hancur daripada menggunakan cara pengabuan kering. Cara pengabuan basah pada prinsipnya adalah menggunakan asam nitrat untuk mendestruksi zat organik pada suhu rendah dengan maksud menghindari kehilangan mineral akibat penguapan. Pada tahap selanjutnya, proses seringkali berlangsung sangat cepat pengaruh asam perklorat atau hydrogen (Yenrina, 2015).
            Kadar abu yang yang terukur merupakan bahan-bahan anorganik yang tidak terbakar dalam proses pengabuan, sedangkan bahan-bahan organik terbakar.  Untuk menentukan kandungan mineral pada bahan makanan, bahan harus  dihancurkan/didestruksi terlebih dahulu. Cara yang biasa dilakukan yaitu pengabuan kering (dry ashing) atau pengabuan langsung dan pengabuan basah (wet digestion). Prinsip penentuan kadar abu ialah dengan menimbang berat sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu 550°C. Penetuan kadar abu dapat dilakukan secara langsung dengan membakar bahan pada suhu tinggi (500600°C) selama 2-8 jam dan kemudian menimbang sisa pembakaran yang tertinggal sebagai abu. Pengabuan dapat menyebabkan hilangnya bahan-bahan organik dan anorganik, sehingga terjadi perubahan radikal organik dan terbentuk elemen logam dalam bentuk oksida atau bersenyawa dengan ion-ion negative. Kadar abu suatu bahan ditetapkan pula secara gravimetri. Penentuan kadar abu merupakan cara pendugaan kandungan mineral bahan pangan secara kasar. Bobot abu yang diperoleh sebagai perbedaan bobot cawan berisi abu dan cawan kosong.  Apabila suatu sampel di dalam cawan abu porselen dipanaskan pada suhu tinggi sekitar 650oC akan menjadi abu berwarna putih. Ternyata di dalam abu tersebut dijumpai garam-garam atau oksidaoksida dari K, P, Na, Mg, Ca, Fe, Mn, dan Cu, disamping itu terdapat dalam kadar yang sangat kecil seperti Al, Ba, Sr, Pb, Li, Ag, Ti, As, dan lain-lain (Direktorat Jendral Sekolah Menengah Kejuruan, 2013).
            Penentuan kadar abu ikan mas juvenile adalah diamana Cawan dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 105 °C, lalu dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dibakar sampai tidak berasap lagi, dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan bersuhu 600 °C selama 2 jam. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam desikator hingga suhu ruang, kemudian ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan persamaan: Kadar abu =  d a  x 100%, Keterangan: a = bobot sampel (gram)   b = bobot cawan (gram)   c = bobot cawan dan abu (gram)   d = bobot abu (gram). Kadar abu basis kering baby fish ikan mas dalam penelitian ini meningkat signifikan dengan pertambahan umur panen. Kadar abu Salvelinus namaycush, Salvalinus fontinalis, dan hybrid dari keduanya diketahui juga meningkat selama 16 minggu pemeliharaan (Gunther et al. 2005). Kadar abu ikan mas dewasa tetapi cenderung lebih kecil dari kadar abu baby fish tersebut. Kadar abu ikan mas dewasa sebesar 7,91% (bk). Kadar abu yang lebih tinggi pada baby fish disebabkan oleh adanya laju pertumbuhan tulang yang tinggi, sedangkan pada ikan dewasa pertumbuhan jaringan lain terjadi lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan tulang (Benning, 2014).
            Ikan Mas secara umum memiliki kandungan kadar abu pada kisaran 0,94%-1,5%. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada jenis bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ikan akan di pengaruhi oleh adanya kandungan mineral-mineral dalam bahan baku yang diguunakan. Mineral-mineral yang biasanya terkandung dalam ikan mas diantaranya adalah kalsium, besi, magnesium, fosfor, kalium, natrium dan seng. Mineral mineral inisebagian akan mengalami pengabuan pada suhu 550 C sehingga suhu pengukusan (90-100C). tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan kandungann abu sampel ikan mas segar dan ikan mas kukus (Pratama, 2013)
Manfaat Penghitungan Kadar Abu
Dalam industri pangan untuk mengetahui kadar abu sangatlah perlu sebab dengan mengetahuinya kita dapat menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan. Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik yang kandungan dan komposisinya tergantung bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu suatu bahan menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Kadar abu total adalah bagian dari analisis proksimat yang digunakan untuk mengevaluasi nilai gizi suatu bahan/produk pangan. Pengabuan juga merupakan tahapan persiapan contoh yang harus dilakukan pada analisis mineral. Dalam penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: a. Penentuan kadar abu secara langsung (cara kering) b. Penentuan kadar abu secara tidak langsung (cara basah) (Widarta et al., 2010).
Penentuan kada rabu total dapat digunakan untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan-bahan yang digunakan, menentukan parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Kandungan abu dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan. Dalam proses pengabuan suatu bahan, ada dua macam metode yang dapat dilakukan, yaitu cara kering (langsung) dan cara tidak langsung (cara basah), Pengabuan cara kering digunakan untuk penentuan total abu, abu larut, tidak larut air dan tidak larut asam (Kaderi, 2015). Pengabuan kering dapat dilakukan untuk menganalisis kandungan Ca,P, dan Fe, akan tetapi kehilangan K dapat terjadi apabila suhu yang digunakan terlalu tinggi. Oleh karena itu, untuk menganalisis K harus dihindari pemanasan suhu lebih tinggi dari 4 0˚C. Suhu 450˚C tidak dapat digunakan jika akan menganalisis kandungan seng. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan beberapa mineral menjadi tidak larut (Maulana, 2010).
Kadar abu suatu sampel padat perlu ditentukan untuk melakukan estimasi berapa banyak unsur-unsur anorganik atau mineral yang terkandung dalam sampel. Kadar abu dapat dicari dengan cara mengabukan sampel yang akan di analisis, tetapi sebelumnya sampel dihilangkan airnya terlebih dahulu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC. Sampel diabukan dengan cara memanaskan sampel dalam tanur pada suhu 700oC. Setelah sampel telah menjadi abu, sampel ditimbang. Kadar abu sampel diperoleh dengan cara membandingkan berat abu dengan berat sampel kering di kalikan 100% (Tiwow et al., 2016).







KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
            Adapun kesimpulan dari makalah biokimia ini adalah sebagai berikut:
1.      Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur – unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Ikan Mas secara umum memiliki kandungan kadar abu pada kisaran 0,94%-1,5%.
2.      Penentuan kadar abu ikan mas juvenile adalah diamana Cawan dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 105 °C, lalu dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dibakar sampai tidak berasap lagi, dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan bersuhu 600 °C selama 2 jam. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam desikator hingga suhu ruang, kemudian ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan persamaan: Kadar abu =  d a  x 100%.
Saran
                        Saran dari makalah ini adalah sebaiknya dalam melakukan pengabuan kadar abu dilakuakan secara langsung, hal ini dapat memudahkan dalam menentukan kadar mineral dalam bahan pangan yang di uji.











DAFTAR PUSTAKA
Benning, B. 2014. Profil Asam Amino Baby Fish Ikan Mas (Cyprinus carpio) pada Berbagai  Umur Panen. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Candra, N. Y. P. 2016. Kualitas Tempe Dengan Penambahan Tepung Ikan Mas (Cyprinus carpio) Berdasarkan Analisis Proksimat dan Masa Simpan. [Skripsi]. Salatiga. Universitas Kristen Satya Waacana.
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. 2013. Kimia Analitik Terapan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Jacoeb, A. M., Nurjanah dan Sitanggang, L. 2015. Proksimat dan Asam lemak Juvenil Ikan Mas (Oreochromis nilotikus) pada Berbagai Umur Panen. Dinamika Maritim. 5(1): 16-31. ISSN: 2086-8049.
Maulana, A. 2010. Analisis Parameter Mutu dan Kadar Flavonoid pada Produk Teh Hitam Celup. [Tugas Akhir]. Universitas Pasundan. Bandung
Miharti, T. 2017. Ilmu Gizi 1. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Depok.
Pratama, R. I., Rostini, I dan Awaluddin, M. Y. 2013. Komposisi Kandungan Senyawa Flavor Ikan Mas (Cyprinus carpio) Segar dan Hasil Pengukurannya. Jurnal Akuatika. 4(1): 55-67. ISSN: 0853-2523.
The Hitam Celup. 2(1): 1-10.
Tiwow, V. M. A ., Hafid, I. W dan Supriadi. Analisis Kadar Kalsium (Ca) dan Fosforus (P) pada Limbah Sisik dan Sirip Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) dari Danau Lindu Sulawesi Tengah. Jurnal Akademika Kimia. 5(4): 159-165. ISSN: 2302-6030.
Widarta, I. R., Suter, I. K., Yusa, N. M dan Arishandi, W. 2010. Analisis Pangan. Universitas Udayana Press.
Yenrina, R. 2015. Metode Analisi Bahan Pangan dan Komponen Bioaktif. Andalas University Press.
Suhartono, M. G. 2010. Perkembangan Biokimia Pangan dan Perannya Dalam Pendidikan Teknologi Pangan. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi IPB. Bandung.
Ridia, I. 2014. Pengenalan Bahan Makanan Ternak. Penerbit IPB Press. Bandung.











makalah Alat tangkap Pancing Tonda (Dasar Perikanan Tangkap)


Makalah Dasar Perikanan Tangkap
ANALISIS ALAT TANGKAP PANCING TONDA
(Trolling Line)
Oleh :
Maher Untung Siahaan
180302062
MSP-B




                                                                                                                                                           


Description: Description: Description: Description: C:\Users\Jeni Ariyanti\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\Content.Word\logo usu untuk semua png (1).png





DASAR PERIKANAN TANGKAP
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019




KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmatNya kepada penulis sehingga makalah ini dapat  selesai dengan baik. Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Dasar Perikanan Tangkap  yang harus dipenuhi yang berjudul “Analisis Alat Tangkap Pancing Tonda (Trolling Line)”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen Dasar PerikananTangkap yaitu Ibu Astrid Fauzia Dewinta, S.St.Pi., M.Si, Amanatul Fadhilah, S.Pi, M.Si, dan bapak Zulham Apandy Harahap, S.Kel., M.Si. Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang ikut serta dalam membimbing menyelesaikan makalah ini.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi isi maupun segi penulisan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan makalah ini sehingga memberikan manfaat terhadap semua pihak.

Medan,    Juni 2019
                                                                                                           
                       
                         Penulis





 
i
 
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................... ........... i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ........... ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang .......................................................................................        1
Tujuan Penulisan.....................................................................................        3
Manfaat Penulisan .................................................................................        3
TINJAUAN PUSTAKA
Pancing Tonda .......................................................................................        4
Pengoperasian Alat Tangkap Pancing Tonda.....................................            6
Kontruksi Alat Tangkap Pancing Tonda............................................ ...        8
Umpan................................................................................................            10
Alat bantu Penangkapan Pancing Tonda............................................            12
Hasil Tangkapan.................................................................................            15
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ............................................................................................        17
Saran .................................................................................................. ...        17
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN




ii
 
 
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perairan Indonesia memiliki luas wilayah lautan dua per tiga dari seluruh wilayah negara Indonesia. Secara terinci, negara kepulauan Indonesia mempunyai luas teritorial darat dan laut sebesar 5.193.250 km2 dengan luas daratan sebesar 2.072.087 km2 dan luas laut sebesar 3.166.163 km2. Keseluruhan wilayah tersebut terdiri dari lebih kurang 17.508 pulau besar dan kecil dengan garis pantai sepanjang 81.290 km. dengan ditetapkannya Zona Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI), maka luas lautan yang dapat dikelola dan dimanfaatkan adalah lebih kurang 5.800.000 km2 (Parmen et al., 2014).
Indonesia memiliki 11 (sebelas) Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Wilayah pengelolaan tersebut didalamnya terdapat berbagai potensi sumber daya kelautan dan perikanan. Potensi sumber daya kelautan adan perikanan meliputi potensi perikanan tangkap, perikanan pesisir, budidaya laut, transportasi, pariwisata dan lain-lain yang diharapkan mampu menjawab kebutuhan ekonomi masyarakat Indonesia. Potensi perikanan tangkap Indonesia sanngat berperan dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Keberadaan perikanan tangkap disuatu daerah akan memberikan kontribusi terhadap pengembangan daerah tersebut. Kegiatan perikanan tangkap mendukung penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat khususnya nelayan pemenuhan kebutuhan hewani untuk masyarakat, serta peningkatan ekspor hasil perikanan (Rahmawan, 2013).
Potensi sumberdaya perikanan laut di Indonesia terdiri dari empat sumberdaya perikanan, yaitu : pelagis besar (451.830 ton per tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton per tahun), sumberdaya perikanan demersal (3.163.630 ton per tahun), udang (100.720 ton per tahun) dan ikan karang (80.082 ton pertahun). Secara nasional potensi lestari (maximum sustainable yield) sumberdaya perikanan laut sebesar 6,7 juta ton pertahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48%. Khususnya di selatan jawa potensi lestari (maximum sustainable yield) sumberdaya ikan 6,1x104 ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan (exploitation rate) sebesar 29,3% (Wijaya, 2012).
Perikanan tangkap mempunyai peranan yang sangat penting dalam menopang ketahanan pangan di Indonesia. Semakin meningkatnya konsumsi ikan per kapita, menyebabkan kebutuhan terhadap ikan juga mengalami peningkatan. Hal tersebut berakibat terhadap produksi perikanan tangkap yang semakin meningkat. Akan tetapi, tingkat produksi perikanan tangkap yang berlebihan dan tidak dikelola dengan baik akan berdampak pada terkurasnya sumberdaya ikan sehingga stok ikan akan mengalami penurunan dan menjadi tidak lestari (Masu’ud, 2018).
Kapal ikan adalah salah satu sarana penangkapan, pengoperasian kapal di laut yang hendaknya memperhatikan kriteria keselamatan dan kelautan, mengingat kapal ikan memiliki lingkup pelayaran yang luas dengan kondisi lingkungan laut yang tidak tetap. Pada saat ini sebagian besar nelayan di Indonesia masih menggunakan kapal ikan tradisional yang belum memiliki perhitungan dan masih dibuat secara turun-temurun berdasarkan pengalaman membangun kapal perikanan. Kapal pancing tonda (trolling line) atau biasa disebut dengan nama penongkol oleh nelayan dibuat khusus untuk menangkap ikan tuna (Thunnus sp) dan tongkol (Euthynnus affinis) yang umumnya dibuat oleh nelayan di daerah Sinjai dan Kalimantan tanpa menggunakan desain perencanaan, konstruksi, perhitungan naval architect serta perencanaan lainnya yang dibutuhkan. Kapal yang telah selesai dibuat memang dapat digunakan sesuai fungsinya, tetapi standar akan pemenuhan kelayakan operasi yang dikeluarkan oleh badan yang berwenang dalam hal ini Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) belum diketahui (Pangera et al., 2018)
Pancing adalah salah satu alat tangkap yang umum dikenal oleh masyarakat ramai, terlebih dikalangan nelayan. Pada prinsipnya pancing ini terdiri dari dua komponen utama yaitu “tali” (line) dan “mata pancing” (hook). Tali pancing bisa dibuat dari bahan benang katun, nylon, polyethilen, plastic (senar) dan lain-lain. Sedang mata pancingnya (mata kalinya) dibuat dari kawat baja, kuningan atau bahan lain yang tahan karet. Pancing adalah alat penangkap ikan yang terdiri dari tali dan mata pancing. Umumnya pada mata pancing dipasang umpan, baik umpan buatan maupun buatan alami yang berguna unutk menarik perhatian ikan dan binatang air lainnya (Sulandari, 2011).
Pancing tonda merupakan alat penangkapan ikan yang dioperasikan secara aktif dengan cara ditarik oleh perahu motor atau kapal kecil. Pancing tonda
(pancing tarik) merupakan alat tangkap tradisional yang bertujuan untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis seperti tuna, cakalang, dan tongkol yang biasa hidup dekat permukaan dan mempunyai nilai ekonomis tinggi dengan kualitas daging yang tinggi. Pancing tonda sangat terkenal di kalangan nelayan Indonesia karena harganya relatif murah dan pengoperasiannya sangat mudah untuk menangkap tuna berukuran kecil di dekat permukaan. Salah satu cara atau jalan yang ditempuh untuk memenuhi permintaan ikan tuna, yaitu dengan penangkapan ikan tuna. Penangkapan ikan tuna dapat dilakukan dengan menggunakan pancing tonda  (Ma’arif, 2011).
Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
  1. Untuk mengetahui pengertian alat tangkap pancing tonda (Trolling line).
  2. Untuk mengetahui kontruksi alat tangkap pancing tonda (Trolling line).
  3. Untuk mengetahui hasil tangkapan pancing tonda (Trolling line).
  4. Untuk mengetahui alat bantu penangkapan pancing tonda (Trolling line).
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai informasi kepada pembaca tentang “Alat Tangkap Pancing Tonda” meliputi kontruksi alat tangkap, kontruksi kapal, pengoperasian, hasil tangkapan dan alat bantu penangkapan. 
 

TINJAUAN PUSTAKA
Pancing Tonda
Pancing tonda adalah pancing yang diberi tali panjang dan ditarik oleh perahu atau kapal yang dimana pancing di beri umpan segar atau palsu yang karena pengaruh tarikan, bergerak didalam air sehingga merangsang ikan buas memangsanya. Pancing tondalah yang menjadi alat tangkap standar untuk menangkap ikan cakalang. Pancing tonda terdiri dari beberapa bagian yaitu pelampung, tali utama, pemberat dan mata pancing. Pelampung yang digunakan pada nelayan pancing tonda di wilayah Palabuhan Ratu berupa drum atau dirigen. Ukuran drum yang banyak digunakan oleh nelayan tersebut yaitu 35 x 10 x 25 cm. Adapun penggunaan pelampung ini hanya sebatas sebagai alat penggulung apabila pancing tonda tidak dioperasikan. Tali utama yang digunakan oleh nelayan pancing tonda biasanya terbuat dari nylon. Panjang tali utama yang biasa digunakan oleh nelayan pancing tonda di wilayah Palabuhan Ratu yaitu 70-150 meter, bergantung dari dalamnya perairan daerah penangkapan ikan, dan diameter tali utama tersebut yaitu 2 mm. Adapun dalam sekali setting, nelayan pancing tonda dapat mengoperasikan 1-8 pancing tonda. Pemberat yang digunakan untuk alat tangkap pancing tonda terbuat dari timah atau semen. Jumlah pemberat yang digunakan untuk satu unit pancing tonda yaitu satu dengan berat 40 ons -1 kg. Mata pancing yang digunakan untuk pancing tonda terbuat dari stainless atau besi baja. Nomor mata pancing yang digunakan oleh nelayan pancing tonda di Palabuhan Ratu beragam, yaitu antara nomor 1–7. Penentuan nomor mata pancing tersebut didasarkan pada jenis ikan yang akan ditangkap. Misalnya saja untuk menangkap ikan jenis tuna biasanya menggunakan mata pancing nomor 6
(Budiasih et al.,2015).
Gambar 1. Alat Tangkap Pancing Tonda
Kegiatan operasional penangkapan ikan (UPI) pancing tonda terdiri atas aktivitas di fishing base (pelabuhan perikanan) seperti persiapan pembekalan melaut (BBM, es, air bersih dan lain-lain), persiapan kapal, alat tangkap dan nelayan. Fishing base UPI pancing tonda terbanyak di Kabupaten Aceh Barat berada di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Ujong Baroh. Selanjutnya, setelah aktivitas di pelabuhan perikanan adalah menuju fishing ground (daerah penangkapan ikan) dan terakhir adalah kembali ke pelabuhan perikanan (pembongkaran hasil tangkapan, penambatan kapal di pelabuhan perikanan dan perawatan kapal serta perawatan alat tangkap. Pancing tonda adalah pancing yang diberi tali panjang dan ditarik oleh perahu atau kapal. Pancing tonda digunakan dalam penangkapan ikan pada kapal sekoci, sedangkan alat tangkap yang lain seperti alat tangkap pancing coping, rentak dan tuna hanya digunakan sebagi alat tangkap penunjang yang digunakan dalam waktu tertentu. Sehingga pembahasan disini lebih ditujukan pada pancing tonda saja (Hafinuddin et al., 2017).
Pancing tonda umumnya dioperasikan dengan perahu kecil, jumlah nelayan yang mengoperasikannya sebanyak 4-6 orang yang terdiri 1 orang nakhoda merangkap fishing master, 1 orang juru mesin dan 2-4 orang ABK yang masingmasing mengoperasikan satu atau lebih pancing pada saat operasi penangkapan berlangsung. Kecepatan perahu pada saat menonda mempengaruhi keberhasilan penangkapan sesuai dengan tujuan ikan sasaran. Perahu/kapal untuk menangkap ikan pelagis jenis ikan umpan, kecepatan menonda harus lambat (1-3 knot). Waktu penangkapan ikan cakalang dan tuna muda di pagi hari dengan kecepatan perahu sekitar 4-5 knot, dan pada siang hari kecepatan menonda sekitar 7-8 knot (Ma’arif, 2011).
Pengoperasian Alat Tangkap Pancing Tonda
Pengoperasian pancing tonda dapat dilakukan pagi, siang dan sore hari. Beberapa menit setelah perahu meninggalkan fishing base pemberat pancing tonda diturunkan perlahan bersamaan dengan mata pancing hingga semua mata pancing berada dalam air sementara perahu tetap melaju. Setelah semua mata pancing telah berada di perairan, kecepatan  perahu mulai di tingkatkan ke  gerombolan  ikan  hingga  terasa  ikan  terkait  pada  setiap  mata pancing.  Proses  hauling  dilakukan dengan  menarik  pancing  ke  atas  perahu sambil  melepaskan  ikan  hasil  tangkapan  dari  kaitan  mata  pancing.  Setelah proses  hauling  selesai,  pancing  diturunkan kembali tanpa menghentikan  laju perahu. Pengoperasian pancing tonda di kecamatan Bontomanai berjarak sekitar 34  km  dari  pantai  pada  dengan kedalaman  perairan sekitar 18 m. Hasil tangkapan pancing tonda adalah jenis ikan selar (Hafinuddin et al., 2017).
Pencarian pencarian daerah penangkapan (fishing ground) dilakukan dengan melihat tanda - tanda keberadaan ikan, tanda - tanda yang dimaksud adalah : 1. Riak-riak air 2. Sekumpulan burung di permukaan air 3. Adanya kawanan lumba-lumba Perahu diberangkatkan biasanya pada pukul 06.00. perjalanan ke fishing ground membutuhkan waktu ± 1-2 jam. Setting dimulai saat menemukan adanya tanda-tanda keberadaan ikan, setelah terlihat adanya tanda-tanda keberadaan ikan, maka kecepatan perahu diturunkan, lalu menurunkan pancing secara perlahan. Panjang tali pancing diukur mengunakan ukuran rentangan tangan sebanyak 50 depa atau ± 75 m. Pancing dioprasikan dengan cara menggerak-gerakan tali pancing dan menarik - nariknya sambil mengejar kearah adanya indikator segerombolan ikan. Setelah selesai menurunkan pancing, juru mudi menambah kecepatan dan mengarahkan perahu agar berada di depan atau di samping kawanan ikan, nelayan mengetahui pancingnya dimakan ikan dengan cara merasakan tegangan tali pancing. Setelah pancing tersangkut pada mulut ikan, juru mudi mematikan mesin dan tali pancing ditarik secepat mungkin agar ikan tidak terlepas dan pemancing lainya juga turut menggulung tali pancingnya. Nelayan kembali ke darat antara pukul 17.00 hingga 18.00 (Madang et al., 2015).
Umpan yang biasanya dipakai pada alat tangkap tonda, rawai maupun tuna long line terdiri dari berbagai jenis ikan (seperti lemuru, tembang, ikan bandeng dan potongan ikan tuna, cakalang dan tongkol) yang berukuran 15-20 cm atau ikan besar yang telah dipotong-potong disesuaikan dengan besar mata pancing yang digunakan. Namun penggunaan umpan ikan alami menemui beberapa kendala serius. Kendala-kendala tersebut adalah : (1) Aktifitas operasi berkurang atau batal dilakukan karena tidak tersedianya ikan-ikan jenis umpan. (2) Nelayan payang atau purse seine yang dapat menangkap jenis-jenis ikan umpan tidak menghendaki hasil tangkapannya dijual ke nelayan rawai, kemungkinan disebabkan oleh persaingan. (3) Kesulitan mendapatkan ukuran ikan umpan yang ideal, sehingga nelayan menggunakan potongan ikan tongkol atau cakalang sebagai umpan. (4) Seandainya ada ukuran ikan umpan yang dikehendaki, masalah lain yang timbul adalah tingkat kesegaran ikan, mengingat bahwa mata pancing dikaitkan pada leher ikan umpan maka kualitas ikan umpan yang kurang baik berakibat lepasnya ikan umpan sebelum mendapatkan hasil tangkapan
(Abida et al., 2009).
Kendala yang terjadi dalam operasi penangkapan adalah biasanya alat tangkap pancing tonda tersangkut pada rumpon, tersangkut dengan alat tangkap milik perahu lain, pancing terkait dengan pancing lain yang ada di sekitarnya, dan pancing dimakan oleh ikan yang kekuatannya lebih besar dari kekuatan tali pada alat tangkap pancing tonda sehingga tali pancing menjadi putus. Untuk mengatasi masalah ini biasanya tali diputus dan kemudian pancing diganti kembali. Untuk kendala yang diakibatkan oleh alat tangkap pancing tersangkut atau tergabung dengan pancing lainnya, maka mengatasinya adalah dengan melakukan penarikan kembali alat tangkap ke atas kapal kemudian dilakukan pembenahan dengan melepas pancing yang tersangkut antar tali pancing, apabila tidak dapat dibenahi biasanya dilakukan penggantian dengan alat tangkap pancing tonda yang lain (alat tangkap cadangan) (Putra dan Manan, 2014).



Kontruksi Alat Tangkap Pancing Tonda
Gambar 2. Kontruksi Alat Tangkap Pancing Tonda
Secara garis besar konstruksi pancing tonda yang dimiliki oleh nelayan terdiri dari tali pancing yang terdiri dari dua jenis yaitu tali utama (main line) dan tali cabang (branch line), kili-kili (swivel), mata pancing (hook), dan roll penggulung tali. Gambaran umum dari bentuk pancing tonda adalah sebagai berikut : tali utama yang diikatkan pada ujung kili-kili. Kemudian ujung kili-kili yang belum terikat, diikatkan ke tali cabang. Selanjutnya, tali cabang diikatkan pada mata pancing. Di tengah-tengah tali cabang diberi pemberat. Umpan yang digunakan adalah dari jenis umpan buatan (imitation bait). Umpan dipasang di bagian atas mata pancing yaitu dengan mengikatkan umpan pada lubang mata pancing yang merupakan tempat mengaitkan tali cabang, biasanya disesuaikan dengan target ikan. Pemasangan umpan di bagian atas mata pancing berfungsi untuk menutupi mata pancing agar tidak terlihat ikan sehingga dapat mengelabuhi pandangan ikan. Dalam satu kapal terdapat enam unit pancing tonda dalam setiap beroperasi. Dua pancing berada disamping kapal dan empat buah pancing terdapat pada belakang (buritan) kapal. Hal ini dimaksudkan untuk memaksimalkan hasil tangkapan (Putra dan Manan, 2014).
Gambar 3. Ukuran Mata Pancing Tonda
Pada alat tangkap tonda, hook merupakan bagian yang sangat penting dalam proses penangkapan. hook yang digunakan nelayan adalah buatan sendiri yang berbahan dasar kawat baja. Nelayan membuat hook sendiri karena dinilai lebih tahan lama terhadap karat dibandingkan dengan hook buatan pabrik. Pada hook buatan pabrik umumnya setelah 5 kali operasi penangkapan pancing akan mulai berkarat sehingga harus diganti dengan yang baru sedangkan pancing buatan nelayan dapat bertahan selama satu tahun. Untuk menekan biaya produksi terutama hook, nelayan menggunakan hook buatan sendiri yang bisa bertahan hingga satu tahun. Selain hook, nelayan juga membuat roller sendiri dengan bahan dasar kayu. Kayu juga lebih tahan lama dibandingkan roller buatan pabrik yang berbahan dasar plastik (Wijaksono et al., 2014).
Armada penangkapan pancing tonda di PPI Ujong Baroeh pada umumnya berupa kapal motor. Ukuran GT (gross ton) kapal pancing tonda bervariasi, dengan kisaran 5 - 12 GT. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan pancing tonda, jumlah palkah pada kapal pancing tonda adalah 3 buah, 2 buah diantaranya terdapat pada bagian depan kapal dan 1 buah terdapat pada bagian belakang. Kapasitas palkah dapat menampung hasil tangkapan sebesar 5 ton. Kasko kapal pada kapal pancing tonda yang terdapat di Kabupaten Aceh Barat adalah round flat bottom yaitu tipe kasko kapal dengan bentuk bulat yang rata bagian bawahnya
(Hafinuddin et al., 2017).
Konstruksi kapal tonda terbuat dari kayu. Ruang kemudi terletak di bagian buritan, ruang mesin berada di bagian tengah, di bagian atas ruang kemudi terdapat ruang ABK (Anak Buah Kapal), palka ikan terletak di bagian haluan. Kapal pancing tonda berukuran sekitar 3-10 GT, terbuat dari kayu jati (Tektona grandis) dan kayu ulin (Eusiderrixylon spp.). Dimensi kapal adalah panjang (LOA) 10,75-12 meter (m), lebar (B) 2,85-3,50 meter (m), tinggi (D) 1-1,5 meter (m). Kapal tonda menggunakan mesin dalam (inboard engine), berkekuatan sekitar 20-40 PK. Berbagai merek mesin biasa digunakan seperti mesin Kubota atau mesin Yanmar (Ma’arif, 2011).
Gambar 4 . Kapal Pancing Tonda
Umpan
Umpan merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam usaha penangkapan baik masalah jenis umpan, sifat umpan, maupun cara pemasangannya. Jarak antara tali pancing sangat berdekatan yaitu hanya berjarak 50 cm pertali pancing, dan panjang tali pancing yang beragam secara terus menerus dapat mempengaruhi penglihatan ikan dalam air. Selain warna umpan yang menyebabkan ikan terpikat ada kemungkinan pengaruh juga dari kilauan dari umpan serta gerak umpan dalam air (Kurniawan, 2017).
Umumnya ikan mendeteksi mangsa melalui reseptor yang dimilikinya, dan hal ini bergantung pada jenis reseptor tertentu yang mendominasi pada jenis ikan tersebut. Pemilihan umpan disesuaikan dengan kesukaan makan ikan sasaran, dengan mempertimbangkan kemampuan ikan mendeteksi makanan. Umumnya pancing tonda menggunakan umpan tiruan (imitation bait), ada pula yang menggunakan umpan benar (true bait). Umpan tiruan tersebut bisa dari bulu ayam (chicken feaders), bulu domba (sheep wools), kain-kain berwarna menarik, bahan dari plastik berbentuk miniatur menyerupai aslinya (misalnya: cumi-cumi, ikan, dan lain-lainnya). Umpan merupakan satu-satunya perangsang bagi ikan untuk mendekati mata pancing dalam pengoperasian pancing tonda. Ukuran umpan tergantung ukuran mata pancing, pancing ukuran 10 menggunakan ukuran umpan 2,5 cm; pancing ukuran 9 menggunakan umpan 6,5 cm; pancing ukuran 5-7 menggunakan umpan ukuran 10,5 cm (Ma’arif, 2011).
Alat tangkap ikan tradisional yang memakai umpan tiruan untuk mengelabui penglihatan ikan dan umumnya untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis merupakan Pancing Tonda. Agar suatu benda dalam air dapat terlihat tergantung dari kemampuan retina mata untuk menyerap warna yang dipantulkan oleh benda. Jumlah hasil tangkapan dengan umpan warna biru relatif lebih banyak yakni dua sampai 3 kali lebih banyak dari umpan warna merah muda. Pengaruh cahaya terhadap hasil tangkapan tergantung pada daya tembus warna tersebut ke dalam perairan. Cahaya warna biru dapat mengumpulkan ikan pada jarak yang jauh baik secara vertikal maupun secara horizontal karena panjang gelombang yang lebih pendek dari cahaya hijau, kuning dan merah (Imbir et al., 2015).
Umpan yang terpasang pada pancing tonda memiliki posisi di atas simpul mata pancing. Pemasangan ini dilakukan dengan menggunakan bantuan pipa cotton bud yang sudah digabungkan dengan benang emas / perak atau tali pita yang terumbai sedemikian rupa. Pipa cotton bud dimasuki senar yang digunakan untuk mengait mata pancing. Untuk memasukkan senar, terlebih dahulu senar tidak dikaitkan dengan mata pancing. Apabila senar masuk ke dalam pipa cotton bud, maka mata pancing baru dikaitkan pada senar. Umpan yang sering digunakan oleh nelayan pancing tonda di daerah Prigi biasanya terbuat dari rumbaian benang yang berwarna emas atau perak dan tali pita berwarna merah dan biru, tali rafia, kain setera, bulu ayam serta plastik warna perak. Proses pembuatan masing-masing umpan buatan dari benang emas/perak dengan panjang 5-7 cm, untuk benang pita dengan panjang 4-6 cm, dimana kesemua bahan tersebut dibuat merumbai. Selanjutnya masing-masing bahan dipasangkan pada mata pancing dan diikat menggunakan benang sampai menutupi bagian atas mata pancing. Kemudian pada ikatan tadi dipasang selang kecil yang berfungsi sebagai pelindung ikatan benang (Putra dan Manan, 2014).
Gambar 5. Umpan Palsu
Alat Bantu Penangkapan Pancing Tonda
Rumpon biasa juga disebut dengan Fish Agregation Device (FAD), yaitu suatu alat bantu penangkapan yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchable area. Bahan dan komponen dari rumpon bermacam-macam, tetapi secara ringkas setiap rumpon terdiri dari beberapa komponen. Di Indonesia, umumnya rumpon masih menggunakan bahan-bahan alami, sehingga daya tahannya juga sangat terbatas. Nelayan umumnya menggunakan pelampung dari bambu, sedangkan tali temalinya masih menggunakan bahan alamiah, biasanya dari rotan dan pemberatnya menggunakan batu sedangkan atraktornya daun kelapa. Rumpon jenis ini biasanya dipasang di perairan dangkal dengan tujuan untuk mengumpulkan ikan-ikan pelagis kecil. Rumpon laut dalam menggunakan tali-temali dari sintetic fibres (tali nylon), dengan tujuan utama mengumpulkan ikan layang, tuna, dan cakalang (Ma’arif, 2011)
Ada 2 faktor yang menjadi penyebab berkumpulnya kawanan ikan di sekitar rumpon. Pertama, ikan berkumpul karena tertarik oleh benda-benda terapung atau bersifat thigmotaxis. Kedua, ikan berkumpul untuk keperluan mencari makan. Kedua faktor tersebut secara bersama-sama menyebabkan terjadinya akumulasi individu ikan menjadi kawanan ikan yang didukung oleh sebuah jaringan makanan yang tersedia terutama pada bagian atraktor. Peluang keberhasilan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan rumpon menjadi semakin meningkat. Operasi penangkapan ikan tidak lagi berupa perburuan, tetapi lebih bersifat memanen. Penangkapan ikan menjadi lebih mudah dilakukan, karena ikan berada dalam kepadatan yang tinggi di sekitar rumpon. Jumlah biomas akan meningkat dengan adanya rumpon dan ikan cenderung berkumpul di sekitar rumpon. Menurutnya, peningkatan biomas ini bersifat sementara dan tidak menambah jumlah biomas secara keseluruhan, melainkan hanya merubah distribusi biomas (Nurani et al., 2014).  
Rumpon banyak digunakan di Perairan Selatan Jawa pada beberapa tahun terakhir. Rumpon mulai digunakan awal tahun 2000, sebagai alat bantu pada perikanan pancing tonda untuk menangkap ikan tuna. Rumpon berfungsi sebagai tempat berkumpulnya ikan, sehingga kegiatan operasi penangkapan ikan dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Introduksi pancing tonda berhasil meningkatkan produksi dan pendapatan nelayan, khususnya di PPP Pondokdadap, PPI Puger dan PPN Prigi (Nurani et al., 2012).
Gambar 6. Alat Bantu Penangkapan dengan Rumpon
Pemasangan rumpon memang dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas operasi penangkapan ikan. Namun keberadaan rumpon harus dikelola dengan baik melalui penegakan perizinan. Pemerintah sudah menerbitkan peraturan tentang penggunaan rumpon ini, yaitu Keputusan Menteri Pertanian nomor 51/Kpts/IK. 250/1/97 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon. Aturan tersebut selanjutnya diperbaharui melalui Permen KP No. 2 tahun 2011, tentang Perizinan Pemasangan Rumpon. Berdasarkan peraturan ini, maka  rumpon yang dipasang dalam radius sampai 4 mil harus disertai izin dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten, rumpon dengan radius 4-12 mil harus disertai ijin dari DKP Provinsi, sedangkan rumpon dengan radius lebih dari 12 mil harus disertai ijin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Faktanya masih banyak rumpon yang dipasang secara illegal. Sudah saatnya keberadaan peraturan ini untuk dapat dilaksanakan dan ditegakkan dengan benar. Pendaftaran atau registrasi rumpon harus dilakukan oleh pemilik atau penggunanya
(Nurani et al., 2014)
Teknik penangkapan pacing tonda tidak hanya melakukan trolling disekitar rumpon, akan tetapi pengoperasian dilakukan berdasarkan kebutuhan ikan yang ditangkap. Teknik penangkapan tonda tersebut ada tiga cara yaitu, 1) teknik penangkapan tonda dengan menggunkan alat bantu layang-layang; 2) teknik penangkapan tonda dengan alat bantu jerigen dalam bentuk rawai tunggal; 3) teknik penangkapan tonda dengan melakukan penarikan (trolling) dari kapal. Ketiga teknik penangkapan tersebut disesuaikan dengan target ikan yang di tangkap. Teknik penangkapan pancing tonda dengan alat bantu layang-layang adalah pancing yang diebrikan umpan palsu kemudian diikatkan dengan layang-layang. Gerakan umpan pancing akan mengundang ikan pemangsa yang lebih besar memangsanya sedangkan penangkapan dengan alat bantu jerigen pada prinsipnya hampir sama penangkapan dengan penangkapan pancing rawai. Perbedaan dengan alat tangkap ini adalah pelampung yang digunakan adalah jerigen dengan tali cabang yang terdiri dari satu mata pancing. Teknik pengoperasian dengan cara mengikatkan tali pada jerigen yang sudah diberikan umpan ikan hasil trolling ataupun ikan hasil layang-layang
(Wijaya, 2012).
Gambar 7. Teknik Pengoperasian dengan Alat Bantu Layang-Layang
Gambar 8. Teknik Pengoperasian dengan Alat Bantu Jerigen
Hasil tangkapan
Jenis ikan yang menjadi target penangkapan pancing tonda  adalah jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan jenis-jenis tuna yang masih muda/yuwanatuna (Thunnus sp). Jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap adalah jenis-jenis tongkol terutama tongkol komo (Euthynnus affinis), lemadang (Coryphaena hippurus), ikansunglir/suru/salem (Elagatis bipinnulatus) dan tenggiri batang (Scomberomorus commerson). Jenis-jenis cakalang dan tuna yang tertangkap rata-rata berukuran d” 5 kg/ekor. Jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap adalah jenis-jenis tongkol terutama tongkol komo, lemadang, ikan sunglir/suru/salem dan tenggiri batang. Jenis-jenis cakalang dan tuna yang tertangkap rata-rata berukuran d”2kg/ekor (Rahmat dan Ilhamdi, 2015).
Hasil tangkapan utama untuk tonda perairan permukaan yaitu tongkol, cakalang, tenggiri, madidihang, setuhuk, alu-alu, sunglir, beberapa jenis kwe. Hasil tangkapan lapisan dalam terutama berupa cumi-cumi, sedangkan untuk lapisan dasar terutama manyung, pari, cucut, gulamah, senangin, kerapu, dan lain-lain. Jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan antara lain jenis ikan bonito (Scomberomerous sp.), tuna, salmon, cakalang, tenggiri, dan lainnya melalui bagian belakang maupun samping kapal yang bergerak tidak terlalu cepat, dilakukan penarikan sejumlah tali pancing dengan mata-mata pancing yang umumnya tersembunyi dalam umpan buatan. Ikan-ikan akan memburu dan menangkap umpan-umpan buatan tersebut, hal ini tentu saja memungkinkan mereka untuk tertangkap (Ma’arif, 2011).
Cara penanganan hasil tangkapan yang dilakukan adalah dengan cara penyusunan ke dalam palkah yang sebelumnya sudah berisi es balok. Peranan es untuk menjaga kesegaran ikan dan merupakan langkah penanganan ikan di atas kapal. Selain menggunakan es, pengawetan ikan juga dapat diproses dengan melakukan penggaraman. Untuk lebih menghemat biaya nelayan pancing tonda tidak menggunakan garam tapi air laut yang langsung dicampurkan dengan es balok. Pendaratan hasil tangkapan UPI pancing tonda terdiri atas beberapa aktivitas yaitu tambat labuh kapal, dimana kapal merapat ke dermaga ketika sampai di pelabuhan. Selanjutnya adalah pembongkaran hasil tangkapan, yaitu  hasil tangkapan di keluarkan dari dalam palkah. Setelah itu, dilakukan penyortiran untuk memisahkan ikan yang berdasarkan jenis (spesies) dan ukuran. Kegiatan setelah pembongkaran adalah pengangkutan. Pengangkutan hasil tangkapan dari kapal menuju dermaga pelabuhan perikanan adalah dengan dipikul oleh buruh nelayan. Kemudian pegangkutan dari dermaga menuju gedung TPI (tempat pelelangan ikan) mengunakan becak. Untuk kegiatan penimbangan dilakukan oleh Toke Bangku. Hasil tangkapan yang didaratkan oleh kapal pancing tonda mencapai 2–5 ton per trip (Hafiluddin et al., 2017).
Gambar 9. Penyortiran Ikan di Atas Kapal
Ikan yang tertangkap dengan pancing tonda tidak mengalami gesekan dengan ikan lain atau dengan alat tangkap maupun dengan kapal penangkapan sehingga kualitas hasil tangkapan menjadi bagus dan tetap terjaga dalam kondisi utuh. Jumlah hasil tangkapan dengan alat pancing tonda selama pelaksanaan monitoring atau dalam 4 trip sebesar 4.556 kg. Bongkar muatan dilakukan oleh para ABK yang dibantu oleh kuli angkut keranjang yang menunggu di pelabuhan. ABK membuka palkah dan mengeluarkan ikan hasil tangkapan untuk dimasukkan ke dalam keranjang dengan melakukan sortir berdasarkan jenis dan ukuran ikan (Putra dan Manan, 2014).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalaah ini adalah sebagai berikut.
  1. Pancing tonda adalah pancing yang diberi tali panjang dan ditarik oleh perahu atau kapal yang dimana pancing di beri umpan segar atau palsu yang karena pengaruh tarikan, bergerak didalam air sehingga merangsang ikan buas memangsanya.
  2. Secara garis besar konstruksi pancing tonda yang dimiliki oleh nelayan adalah terdiri dari tali pancing yang terdiri dari dua jenis yaitu tali utama (main line) dan tali cabang (branch line), kili-kili (swivel), mata pancing (hook), roll penggulung tali.
  3. Hasil tangkapan ikan pancing tonda adalah jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan jenis-jenis tuna yang masih muda/yuwanatuna(Thunnus sp). Jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap adalah jenis-jenis tongkol terutama tongkol komo (Euthynnus affinis), lemadang (Coryphaena hippurus), ikansunglir/suru/ salem (Elagatis bipinnulatus) dan tenggiri batang (Scomberomoruscommerson).
  4. Alat bantu penangkapan pada alat tangkap pancing tonda adalah berupa Rumpon atau Fish Agregation Device (FAD), yaitu suatu alat bantu penangkapan yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchable area. Pancing tonda juga menggunakan alat bantu layang-layang dan jerigen dalam bentuk rawai tunggal.
Saran
Meskipun pancing tonda dan kapal tonda lebiih terpakai di kawasan Maluku maupun kawasan Pelabuhan Ratu, ada baiknya jika lebih disebar lagi atau diperbanyak lagi jenis-jenis pancing tonda diseluruh wilayah Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Budiasih, D., Dian A.N dan Nurmala, D. 2015. CPUE dan Tingkat Pemanfaatan Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Sekitar Teluk Palabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Agriekonomika. 4(1): 37-49. ISSN: 2301-9948
Hafinuddin., Salmah., S. Zuraidah dan N. Ukhty. 2017. Strategi Peningkatan Operasional Pancing Tonda di Kabupaten Aceh Barat. Jurnal Perikanan Tropis. 4(1): 71-82. ISSN: 2355-5564.
Imbir, F. F., W, Patty dan J. Wenno. 2015. Pengaruh Warna Umpan pada Hasil Tangkapan Pancing Tonda di Perairan Teluk Manado Sulawesi Utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap. 2(1): 9-13. ISSN: 2337-4306.
Kurniawan, M. 2017. Pengaruh Umpan Terhadap Hasil Tangkapan  Alat Tangkap Pancing Tonda di Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. [Skripsi]. Universitas Riau.
Ma’arif, R. 2011. Evaluasi Kegiatan Perikanan Pancing Tonda di Pacitan Terhadap Kelestarian Sumberdaya Ikan Tuna. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
Madang, N., A. Salam dan A. S. R. Baruadi. 2015. Pengaruh Perbedaan Ukuran Mata Pancing Terhadap Hasil Tangkapan Pancing Tonda di Desa Pasokan Kecamatan Walea Besar Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Ilmu Perikanan dan Kelautan. 2(1): 1-22.
Mas’ud, R. M. 2018. Kajian Ekonomi Usaha Alat Tangkap Pancing  di Kecamatan Mallusetasi Kabupaten Barru. [Skripsi]. Universitas Hasanuddin.
Nurani, T. W., I. Prihatin., Wahyuningrum., Mustaruddin., R. Maarif dan B. Wiratama. 2012. Performa Hasil Tangkapan Tuna  Dengan Pancing Tonda di Sekitar Rumpon. Marine Fisheries. 3(1): 1-6.
ISSN: 2087-4235.
Nurani, T. W., S. H. Wisudo., P. I. Wahyuningrum., R. E. Arhatin. 2014. Model Pengembangan Rumpon Sebagai Alat Bantu dalam Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Tuna Secara Berkelanjutan. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 19(1): 57-65. ISSN 0853 – 4217.
Pangera, A. A., S. A. Farhum dan  A. Nelw. 2018. Gerakan Heaving Kapal Pancing Tonda pada Gelombang Following Seas di Kabupaten Sinjai. Prosiding Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan V. 5(2): 73-80. ISBN: 978-602-71759-5-2.
Parmen., E. Kamal dan Yuspardianto. Studi Spesifikasi Alat Tangkap Gill Net Dasar di Kecamatan Sipora Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai. Prosiding Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan.2(1): 1-13.
Putra, F. N. D dan A. Manan. Monitoring Hasil Perikanan Dengan Alat Tangkap Pancing Tonda di Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi, Kabupaten Trenggalek, Propinsi Jawa Timur. Jurnal Ilmiah Perikanan Dan Kelautan. 6(1): 15-19.
Rahmat, E dan H. Ilhamdi. 2015. Pengoperasian Alat Tangkap Pancing Tonda di Laut Banda yang Berbasis di Kendari. Jurnal Ilmiah Perikanan Dan Kelautan. 3(2): 58-61.
Rahmawan, A. 2013. Kajian Penangkapan Ikan Menggunakan Jaring Lingkar
(Mini Purse Seine) dan Strategi Pengembangannya di Kota Jayapura. [Tesis]. Universitas Terbuka.
Sulandari, A. 2011. Strategi Peningkatan Produksi Pada Nelayan Pancing Tonda di Perairan Teluk Prigi (Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi). [Tesis]. Universitas Indonesia.
Wahyuni. I., A. F. F. Muhsoni dan A. D. Siswanto. 2009. Limbah Ikan Sebagai Alternatif Umpan Buatan Untuk Alat Tangkap Pancing Tonda. Jurnal Kelautan. 2(1): 15-19. ISSN: 1907-9931.
Wijaya, H. 2012. Hasil Tangkapan Madidihang (Thunnus albacares, Bonnaterre 1788) Dengan Alat Tangkap Pancing Tonda dan Pengelolaannya di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu Sukabumi. [Tesis]. Universitas Indonesia.


LAMPIRAN
Umpan Pancing Tonda
                        
ikan layang (Decapterus russelli)                    Cumi - cumi (Loligo sp)
                        
Saury (Cololabris saira)                                  Lemuru (Sardinella lemuru)
                        
Tongkol (Auxis thazard)                                  Bandeng (Chanos chanos)
Kembung perempuan (Rastrelliger brachyosoma)
Hasil Tangkan Pancing Tonda
                        
Tuna Albakora (Thunnus alalunga)                Tuna mata besar (Thunnus obesus)
                        
Ikan tuna sirip kuning (Thunus albacores)     Cakalang (Katsuwonus pelamis)


                        
Lemadang (Coryphaena hippurus)                 Setuhuk (Makaira indica)